PENDAHULUAN
Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang mempunyai banyak keragaman Dari mulai bahasa, adat istiadat, kebudayaan, ras, dan suku bangsa dan yang lainnya yang mencirikan keheterogenitasan asia tenggara. Hal inilah yang merupakan sumber perbedaan yang mencolok dalam wilayah-wilayah bagian asia tenggara. Berbedanya latar belakang, sejarah, dan keadaan fisik dari suatu daerah menyebabkan berbeda pula perkembangan yang di alami oleh suatu negara.
Dalam sejarah Asia Tenggara lama banyak hal yang akan di pelajari, yang menyangkut negara-negara di Asia Tenggara dari mulai adanya kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara sampai pada sebelum pergerakan nasional bangsa-bangsa di asia tenggara.
Pada awal perkembangannya negara-negara di asia tenggara hampir semua mengalami masa kerajaan atau kekaisaran. Bharu setelah pengaruh dari luar masuk mulailah terdapat sisitem pemerintahan gaya pemerintahan barat. Penjelajahan-penjelajahan bangsa-bangsa barat ke wilayah asia tenggara mempunyai dampak yang sangat besar. Hal ini di buktikan dengan adanya kolonialisasi bangsa-bangsa barat (Eropa) terhadap wilayah-wilayah asia tenggara.
A. Latar Belakang Masalah
Di Asia Tenggara kita mengenal sebuah kawasan dengan sebutan Indo-China. Kawasan ini terdiri atas 3 Negara yaitu Laos, Kamboja, dan Vietnam. Ketiganya memiliki sejarah yang khas dalam perkembangannya yang turut mempengaruhi daerah sekitarnya. Seperti yang kita ketahui, Saigon terletak di Dalat (Vietnam) disini Jepang memusatkan pemerintahan untuk wilayah Asia Tenggara.
Diantara ketiga negara tersebut, kami mendapatkan Vietnam sebagai tugas yang harus diselesaikan sebagai THR (Tugas Hari Raya) di kampung, dengan thema yang kami tentukan sendiri.
Sebagai sebuah negara yang berada didalam kawasan Indocina, yang dijajah oleh Perancis. Namun setelah merdeka negara tersebut terpecah menjadi tiga negara, ini merupakan hal yang menarik.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Kamboja sebelum masuknya Perancis?
Bagaimana masuknya Perancis ke Kamboja?
C. Tujuan
Ingin mengetahui Kamboja sebelum masuknya Perancis.
Ingin mengetahui masuknya Perancis ke Kamboja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kamboja sebelum masuknya Perancis
Kerajaan-kerajaan di Kamboja
1. Kerajaan Funan
Funan adalah kerajaan yang berasal dari negara Kamboja bagian selatan. Funan berasal dari kata B’iunan (Krung Bnam) yang berarti raja gunung, yang mempunyai kemiripan dengan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah. Ibukotanya di Vyadhapura yang berarti kota dari para pemburu. Kota pelabuhannya adalah Oc Eo.
Awal Berdirinya Kerajaan Funan
Kerajaan ini didirikan oleh seorang Brahmana yang bernama Kaundinya dari India. Ia kawin dengan putri setempat yang bernama Nagisoma (Naga). Ia mendirikan Funan pada tahun 75 M. Funan sebagai kerajaan maritim sehingga mata pencahariannya tergantung kekuasaannya di laut. Yang terpenting adalah menguasai jalan niaga antar China, India, dan ka Eropa. Jalan niaga laut manjadi ramai setelah Jalan Sutra mati karena gangguan orang-orang Nomad. Funan mempunyai angkatan laut yang kuat sekali, sehingga dengan angkatan lautnya ia membajak diperairan Asia Tenggara. Setiap orang yang berlayar tinggal memilih menyerah, mati, atau menjadi budak belian. Menyerah berarti berlabuh di funan, membayar bea cukai dan memenuhi segala permintaan pera pembesar.
Lambat laun Funan memperluas daerahnya. Untuk itu selurah pantai daratan Asia Tanggara didirikan pangkalan dan benteng yang kuat. Funan menjadi sebuah iperium yang sangat kuat sejak didirikannya pangkalan laut dan benteng, dan sejak pertengahan Abad IV-V Funan menjadi sebuah Kerajaan yang menguasai perairan Asia Tenggara. Sementara itu perairan Indonesia yang dikuasai Funan dijadikan jalan lalu lintas rempah-rempah, binatang-binatang, kayu wangi (cendana), dan gading. Karena itu Funan dapat membinasahkan setiap kerajaan maritim yang akan berdiri didaerah peraiarannya. Akibatnya hanya daerah yang jauh dari jangkauan kerajaan Funan yang mampu bertahan sebagai kerajaan merdeka, seperti kerajaan Kutai dan Tarumanegara.
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di Funan antara lain, Kaundinya, Fan Shih Man, Fan Sun, Kaundinya Jayavarman, dan Rudravarman. Kaundinya adalah pendiri Funan, dinastinya berkuasa selama satu setengah abad. Fan Shih Man adalah raja penakluk, memiliki banyak vassal, sehingga ia memerintah sebagai raja. Kekuasaannya sangat besar, ia membentuk angkatan laut yang menguasai perairan Asia Tenggara. Karena ia suka berperang akhirnya ia gugur sewaktu memimpin sebuah ekspedisi melawan kerajaan Chin Lin.
Pada masa pemerintahan raja Fan Sun, datang di istana Funan duta-duta dari China dan Marunda. Hubungan antara China dan Funan tetap erat sepanjang pemerintahannya hingga tahun 237 M. Pada tahun 268 dan 287 Funan mengirim utusan ke China.
Menurut Liang History salah seorang penganti Chandan adalah seorang Brahmana dari India yang bernama Kiao-chen-ju, yang karena secara gaib pergi dan memerintah Funan. Menurut cerita ia di terima baik oleh rakyat yang memilihnya menjadi raja mereka. Kemudian merubah semua aturan-aturan sesuai dengan metode-metode India. Nama nya diduga terjemahan cina dari nama “Kaundinya” dengan demikian cerita itu akan menunjukan pengembalian unsure Hindu didalam keluarga yang memerintah atas clan asli Funan, dibawah pemerintahannya pengaruh India cenderung menjadi lemah dengan adanya hubungan dengan kebudayan setempat. Tidak ada tahun yang ditunjukan bagi pemerinyahan Kaundinya kedua ini, tetapi salah seorang pengantinya yang namanya mungkin berarti Sreshthevarman dilapotkan telah mengirim utusan ke kaisar Wen (425-453). Early Sung History menyebutkan utusan-utusan berikut tahun 434, 435 dan 438 dan dikatakan raja ini menolak membantu Lin-yi menyerang Tongking/ (Tonkin).
Raja Funan yang terbesar adalah Kaundinya Jayavarman. Ia meninggal pada tahun 514 M. Tahun permulaan pemerintahannya tidak diketahui. Yang diangkat sebagai agama resmi adalah agama Siwa, tetapi disampingnya agama Budha tetap hidup dengan damai. Jayavarman sendiri tidak meninggalkan prasasti, tetapi permaisuri serta putranya yang bernama Gunavarman masinh-masing meninggalkan prasasti berbahasa Sanskerta. Kedua-duanya menunjukkan sifat Siwaistis, terdapat bekas telapak kaki pada prasasti tersebut.
Raja Funan yang terakhir Rudravarman. Sesungguhnya ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan, karena ia dilahirkan dari seorang selir. Ia berhasil menduduki tahkta kerajaan setelah membunuh calon raja yang sah (mungkin Gunavarman). Antara tahun 517 dan 539 ia mengirimkan sejumlah utusan ke China. Ia meninggal sekitar tahun 550 M. Bersama dengan meninggalnya Rudravarman, di daerah Mekong Tengah timbul pergolakan yang dipimpin oleh dua orang bersaudara yaitu Bhavavarman dan Citrasena, yang akhirnya berhasil menggulingkan kerajaan Funan.Kerajaan Funan tak mungkin dihancurkan oleh kerajaan maritime yang lain. Yang menghancurkan Funan adalah kerajaan darat atau pedalaman yaitu Chenla (Kamboja yang bersifat agraris).
Kondisi Sosial Masyarakat Kerajaan Funan
Cerita ini ada dalam Southern Ch’i History yang juga berisi catatan tentang kerajaan seperti zaman jayavarman. Ini sebuah gambaran tentang rakyat pengarung lautan, yang menyangkut barang dagangan dan rampasan dan senatiasa menjarah tetangga-tetangganya. Raja bersemayam di istana yang atapnya bertingkat-tingkat, sedang rumah rakyat dibangun atas onggokan dan atapnya dari daun bambu. Rakyat melindungi tempat tinggalnya dengan pagar kayu. Pakaian nasionalnya sepotong kain yang diikatkan di pinggang. Olahraga nasionalnya ialah sabungan ayam dan adu babi. Hukuman adalah berupa siksaan. Raja naik gajah dalam pemeriksaan umum.
(Liang History) menambahkan bukan hanya raja tetapi seluruh keluarga raja sampai pada selir naik gajah. Dewa langit dipuja. Ini diwujudkan dalam patung tembaga: beberapa yang dengan muka dua dan tangan empat, yang lain dengan empat wajah dan dengan delapan tangan jelas menujukan pemujaan harihara. Mayat diperlakukan dengan empat cara: dengan melemparkan ke arus sungai, membakarnya, mengubur dalam lubang parit, dan dengan menyajikannya pada burung-burung. Cerita ini juga menjukan adat mandi yang masih diketemukan di kamboja dan dikenal sebagai Trapeang, penggunaan hak mandi umum bagi sejumlah keluarga.
Kondisi Ekonomi dan Politik Kerajaan Funan
Kerajaan Funan mengalami kemajuan pesat dalam bidang Ekonomi, Kemajuan dalam bidang ekonomi tentunya dalam bidang pertanian dan perdagangan. Funan adalah Kerajaan Agraris yang memiliki pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan militer di daratan Indocina. Bukti bahwa Ekonomi Kerajaan Funan mengalami kemajuan yang sangat pesat dapat dilihat dari perkembangan masyarakat Funan yang sebagian mengandalkan bidang pertanian dan perkebunan sebagai mata Pencaharian masyarakat Funan.
Dalam bidang perdagangan Funan memiliki pelabuhan laut yang sangat kuat dan menjadi salah satu pusat perdagangan yang sangat strategis wilayah Asia Tenggara dan daratan Indocina. Sehingga menjadi pusat perdagangan pada masa perundagian dan jalur Sutera menjadi salah satu aspek maju dan berkembangnya aktivitas perdagangan diwilayah Indocina dan Asia Tenggara. Komoditi yang terbesar dalam aktivitas perdagangan di Kerajaan Funan antara lain, Gerabah, Keramik, dan barang- barang dari perunggu, yang merupakan pengaruh dari Kebudayaan Dong Son di Vietnam, sehingga secara tidak langsung pengaruh Cina terhadap perkembangan Kerajaan Funan di Kamboja, menjadi pengaruh yang sangat penting dalam perkembangan Kerajaan Funan kedepannya.
Dalam bidang politik seperti yang digambarkan dalam Deskripsi singkat tentang Kerajaan Funan diatas, dijelaskan bahwa Kerajaan Funan memiliki sistem politik yang Feodal, dengan saling menguasai wilayah di Asia Tenggara dan dapat dikatakan bahwa Kerajaan Funan merupakan Kerajaan Adikuasa pada masa itu dengan menguasai seluruh wilayah perairan dan daratan Indocina. Dan Funan pun memiliki angkatan laut yang sangat kuat sehingga menambah pertahanan Laut Kerajaan Funan semakin kuat di dalam menaklukan wilayah- wilayah yang berada di Asia Tenggara dan sekitarnya. Raja memiliki kekuasaan yang sangat mutlak (Absolut) di dalam menjalankan tata pemerintahan di Kerajaan Funan, sehingga raja sangat ditinggikan statusnya oleh masyarakat Kerajaan Funan, bahkan dapat dianggap sebagai titisan dewa yang sangat dimuliakan. Sehingga dengan adanya tata pemerintahan dan pertahanan seperti diatas mustahil Funan sebagaiThe First Arest Power (Asia Tenggara Pranasionalisme :48), Funan dapat ditaklukan oleh Kerajaan- kerajaan lain yang terdapat dipesisir daerah Indocina dan Asia Tenggara, seperti Kerajaan Chenla dan Angkor. Tetapi setelah meninggalnya Raja Rudravarmanpada tahun 550 M, keadaan menjadi terbalik, timbul pergolakan di dalam tata pemerintahan Kerajaan Funan yang akhirnya dapat menggulingkan Funan dibawah penyerangan Kerajaan Chenla, yang menjadi salah satu Kerajaan yang dikuasai Funan pada waktu itu. Sehingga berakhirlah sudah kejayaan Kerajaan Funan sebagai Kerajaan The Man Power di wilayah Asia Tenggara, dan berganti dengan masa pemerintahan Kerajaan Chenla yang telah berhasil menaklukan Kerajaan Funan, sebagai Kerajaan Hindu Purba pertama di Asia Tenggara yang sangat kuat di dalam struktur pemerintahannya.
Proses Keruntuhan dan Kemunduran Kerajaan Funan
Kerajaan Funan mengalami kemunduran pada akhir abad IV karena mendapat serangan dari tentara Kerajaan Chenla tepantya pada masa pemerintahan Raja Rudravarman (550 M) , dengan jatuhnya Kerajaan Funan ini, maka pada abad V terjadilah revolusi Kepercayaan di wilayah Asia Tenggara, yakni di daratan Asia Tenggara mengalami Absolutisme dewa raja yang berpusat pada pendewaan raja (dewa raja kultus). Dan Chenla sebagai penakluk yang berhasil menguasai Kerajaan Funan inilah yang membawa pengaruh kepercayaan ini sehingga secara tidak langsung mulailah berkembang kepercayaan Absolutisme dewa raja, walaupun pada saat pemerintahan Funan pengaruh ini sudah mulai diterapkan tetapi baru berkembang saat perpindahan kekuasaan dari Funan ke Kerajaan Chenla.
2. Kerajaan Chenla
Chenla , yang dikenal sebagai Zhenla di Cina dan Lap Chan di Vietnam (yang merupakan Tiongkok-Vietnam pelafalan), adalah awal kerajaan Khmer. Chenla , yang dikenal Sebagai Zhenla di Cina dan Lap Chan di Vietnam (yang Merupakan Tiongkok-Vietnam pengucapan,adalah awal kerajaan khmer.
Awalnya negara ini pengikut Funan, selama 60 tahun itu mencapai kemerdekaannya dan akhirnya menaklukkan semua Funan, menyerap orang-orangnya dan budaya. Melemahnya dari negara Funan saat ini sebagian besar dapat dijelaskan dengan peristiwa-peristiwa jauh: runtuhnya Kekaisaran Romawi dan kemudian rute perdagangan antara Laut Tengah dan Cina. Melemahnya dari negara Funan Sebagian besar saat ini dapat dijelaskan dengan peristiwa-peristiwa jauh: Runtuhnya Kekaisaran Romawi dan Kemudian rute perdagangan antara Laut Tengah dan Cina.
Runtuhnya kerajaan Chenla
Pada 706, Chenla kemudian dibagi menjadi utara dan selatan negara, yang dikenal sebagai "Chenla dari Tanah" dan "Chenla Laut". yang Champassak hari Laos modern pusat adalah bagian utara, sementara wilayah Mekong Delta dan milik pantai bagian selatan. Beberapa negara yang lebih kecil memisahkan diri dari Utara dan Selatan Chenla di 715, lebih lanjut melemahkan daerah.
Khmer, yang diyakini pengikut Funan telah mencapai Sungai Mekong dari Sungai Chao Phraya utara melalui Lembah Sungai Mun. Chenla, negara merdeka pertama mereka berkembang dari Funan, menyerap pengaruh Funanese. Catatan Cina kuno menyebutkan dua raja, Shrutavarman dan Shreshthavarman yang memerintah di ibu kota Shreshthapura modern terletak di selatan Laos. Pengaruh yang sangat besar identitas Kamboja yang datang adalah tempa oleh Kerajaan Khmer Bhavapura, di hari modern kota Kamboja Kompong Thom. Pengaruh. Warisannya adalah sultan yang paling penting, Ishanavarman yang sepenuhnya menaklukkan kerajaan Funan selama 612-628. Dia memilih ibukota barunya di Sambor Prei KUK, penamaan itu Ishanapura.
Setelah kematian Jayavarman di 681, kekacauan datang pada kerajaan dan di awal abad ke-8, kerajaan pecah menjadi beberapa kerajaan. Pushkaraksha, penguasa Shambhupura mengumumkan dirinya sebagai raja dari seluruh Kambuja. Kronik Cina Menyatakan Bahwa pada abad ke-8, Chenla terpecah menjadi Chenla tanah dan udara Chenla. Selama waktu ini, anak Shambhuvarman menguasai sebagian besar Pushkaraksha air Chenla hingga abad ke-8 yang didominasi Melayu dan Jawa selama bertahun-kerajaan Khmer.
3. Kerajaan Khmer di Kamboja sampai tahun 1001
Berdasarkan catatan orang-orang Cina, setelah kerajaan Funan runtuh pada pertengahan abad ke-6. Keruntuhan kerajaan Funan disebabkan karena adanya pemberontakan negara feodal yang bernama Chen-la. Bhawawarman “Siwa Sebagai Pelindung” memimpin pemberontakan melawan Funan, menjadi raja Chen-la melalui perkawinan dengan putri Lakhsmi dari Dinasti Kambhu-Mera.Ayahnya, Wirawarman yang disebut dalam prasasti sebagai tuan tanah di bawah Funan. Kakeknya bernama Sarwa Bhauma. Perkawinannya memiliki arti penting dalam perkambangan tradisi kerajaanKhmer karena dipakai untuk menjelaskan bagaiamana raja-raja Kamboja menuntut untuk menempatkan keturunan mereka pada garis keturunan Bulan dan Matahari.Setelah kematian Rudrawarman pada tahun 550, Funan masih tetap mengirimkan utusan-utusan ke Cina. Hal ini menujukkan bahwa Bhawawarman tidak menyatukan Funan dengan negaranya, tetapi berotonomi sampai tahun 627 ketika dikoordinasikan dengan Chen-la saat dipimpin oleh Isanawarman.
Masa pemerintahan Bhawawarman menyebabkan kemakmuran. Kerajaan Funan membentang dari Champa di timur sampai ke Teluk Benggala di barat dan sebagian besar Semenanjung Melayu termasuk didalamnya. Setelah kematian Bhawawarman, pemertintahan digantikan oleh Chittrasena pada tahun 600 dengan bergelar Mahendrawarman “Indra yang Agung sebagai pelindung”. Namun masa pemerintahan beliau hanya singkat. Isnawarman, putra dari Mahendrawarman menggantikan ayahnya sebagai raja ada tahun 611. Isnawarman meluaskan kekuasaannya ke barat hingga sampai daerah yang kemudian menjadi pusat kerajaan Angkor.
Isnawarman telah menaklukkan negara merdeka yang berada di lembah Stung Treng lalu mendirikan ibukota baru disana yang kemudian disebut Isnpura. Isnawarman memerintah sampai tahun 635, namun di prasasti yang terakhir tercatat 628-629. Lalu digantikan olehBhuwawarman II yang memerintah selama 40 tahun. Kemudian diganti olah raja Jayawarman I yang memiliki sebutan antara lain “Raja Singha yang Agung”dan “Jayawarman yang Jaya”. Jayawarman menaklukkan Laos Tengah dan Utara sampai perbatasan kerajaan Nanchao. Selama pemerintahan Jayawarman I, orang-orang Khmer cepat mengkonsolidasikan kekuatan mereka atas daerah rendah Mekong dan sekitar Tonle Sap. Pemerintahan diatur dengan baik. Namun setelah Jayawarman I meninggal, terjadi konflik perebutan kekuasaan antara Dinasti Bulan di Aninditapura di bawah raja Iswara dari keluarga Baladitya dan Dinasti Matahari dari Sambhupura. Kemudian yang naik tahta adalah seorang \putra Pushkaraksha yang mengawini putri pewaris tahta lalu bergelar Rajendrawarman I yang memerintah pada pertengahan ke dua abad VIII.
Lalu setelah itu, ada raja Jayawarman II yang disebut sebagai pendiri kerajaan Angkor yang dipilih oleh menteri-menteri Mahipatiwarman sesuai perintah Maharaja Jawa. Beliau tidak termasuk keturunan Rajendrawarman I, dan beliau adalah cicit Nrepatidrawarman dari Aninditapura. Setelah raja Jayawarman II mangkat, puteranya yaitu Jayawarman III (850-877) yang terkenal sebagai pemburu gajah, menggantikan ayahnya. Lalu Yasowarman I yang mendirikan kota Angkor, kemudian diteruskan oleh Jayawarman IV sampai alhir abad XII. Sejarah Khmer pada abad X berisi tentang catatan-catatan bangunan-bangunan. Hal ini menonjolkan mengenai masa peradabannya. Raja sebagai kepala negara memiliki kedudukan tertinggi dan banyak terlibat dalam upacara-upacara keagamaan namun memiliki hubungan yang terbatas sekali dengan rakyatnya. Raja menjadi pengemban hukum dan ketertiban, pelindung agama, dan berkewajiban menjaga negaranya dari musuh-musuh luar. Orang-orang besar di kerajaan biasanya membangun tempat-tempat suci untuk pemujaan pribadi mereka dan sebagai kuburannya ketika mereka mati. Praktek ini telah tersebar luas di seluruh Asia Tenggara. Ditemukan di Champa, Jawa, dan Bali.
Pada abad IX dan X, Siwaisme sangat berpengaruh. Manjelang abad XII, Waisnawisme cukup kuat dalam mengilhami bangunan- bangunan besar seperti Angkor Wat. Namun, Budhisme masih memiliki pengikut. Selama perjalanan abad X, enam raja memerintah. Diantara mereka, Jayawarman IV (928-942) merupakan seorang perebut tahta yang menaklukkan Yasodharapura (Angkor) lalu beliau mendirikan ibukota baru di Koh Ker. Rajendrawarman II (944-968) menurunkan tahta Jayawarman lalu mengembalikan ibukota ke Angkor yang kemudian tetap menjadi kota besar orang-orang Khmer sampai tahun 1432. Raja terakhir abad itu, Jayawarman V (968-1001) menyempurnakan dan mengabdikan sebuah candi Khmer yang indah yaitu Banteay Srei (Benteng Wanita) yang pertama direstorasi oleh arkeolog Perancis.
4. Kerajaan Angkor
Nama Angkor sudah banyak dikenal orang di luar Kamboja, tetapi bangunan dengan gugusan menara yang terkenal ini hanya bagian dari kompleks yang lebih besar. Candi Angkor Wat dibangun pada abad ke-12 sebagai salah satu candi dan kemungkinan istana, walaupun bangunan tersebut tidak lagi terlihat yang bertebaran di Kamboja barat laut. Selama lebih dari setengah millennium, dari 800 hingga abad ke-15, daerah ini merupakan titik pusat politik dan budaya kerajaan yang berkembang menjadi kerajaan Asia Tenggara terbesar pada masanya.
‘Angkor’ secara spesifik merujuk pada daerah di sekitar ibukota, tetapi biasanya juga digunakan untuk menyebutkan nama seluruh kerajaan Kamboja selama periode ini. Jika ada kerajaan pada periode klasik sejarah Kamboja yang bisa dicap sebagai imperium, anugerah itu sudah pasti jatuh pada Angkor. Dalam konteks luas wilayah dan eksistensinya, Angkor tidak tertandingi. Hanya sedikit sekali Negara penerus yang bisa menyamainya.
Walaupun periode ‘pra-Angkor’ dan ‘Angkor’ biasanya diperlakukan sebagai dua periode sejarah berbeda, kenyataannya terdapat kesinambungan antara keduanya. Pada 802 seorang penguasa yang dikenal sebagai Jayawarman II (bertakhta 802- ± 835) menggelar upacara di sebuah bukit bernama Phnom Kulen dan mentitahkan diri sebagai raja. Peristiwa ini lazim dianggap pendirian kerajaan Angkor. Padahal sebenarnya ini adalah puncak serangkaian peristiwa sebelumnya selain dimulainya fase baru dalam sejarah Kamboja. Abad ke-7 dan ke-8 menjadi saksi proses konsolidasi bertahap oleh para penguasa secara berturut-turut, bersamaan dengan pergeseran pusat kekuasaan secara progresif menjauh dari delta Mekong kearah danau besar yang dikenal sebagai Tonle Sap. Sepertinya, proses inilah yang diterjemahkan sumber-sumber Cina sebagai pembagian ‘Chenla’.
Naiknya Jayawarman II ke atas takhta tidak langsung membawa kedamaian atau stabilitas jangka panjang wilayah Khmer. Ia harus mencurahkan cukup banyak waktu di masa pemerintahannya untuk membangun analisis militer dan perkawinan untuk menkonsolidasikan kekuasaannya. Meskipun demikian, dekade-dekade pemerintahannya memang menjadi dasar bagi para penerusnya untuk membangun dan membuat daerah tersebut sebagai pusat kekuasaan penting hingga beberapa abad kemudian. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:59)
‘Angkor’ tidak pernah menjadi satu kota tunggal. Terjadi beberapa kali pemindahan ibukota di wilayah yang sama. Situs-situs ini pun secara keseluruhan menjadi ‘Angkor’. Kota yang khusus menjadi ibukota didirikan seorang penguasa bernama Yasowarman (bertakhta ±889-±910) dan diberi nama sesuai dengan namanya, Yosodharapura. Banyak penguasa Kamboja adalah generasi pembangunan; masing-masing memberi konstribusi berupa satu atau lebih bangunan yang menjadi warisan arsitektur Angkor. Banyak dari bangunan ini berupa candi yang didedikasikan untuk Siwa, Wisnu atau Buddha, tergantung pada siapa yang paling dimuliakan masing-masing penguasa dan keluarganya. Banyak candi yang memasukkan relief keluarga kerajaan dan leluhur lainnya. Walaupun para cendikiawan masih berupaya mencari tau signifikansi relief-relief ini, tampak jelas bahwa ini merupakan semacam pemujaan leluhur kerajaan. Sebaliknya, meski sejak lama diyakini bahwa para penguasa Kamboja adalah ‘dewa-raja’ (didasarkan pada kemunculan istilah Sansekerta devaraja(dewaraja) dalam prasasti tertentu), asumsi ini sekarang diragukan. Para penguasa dalam banyak hal memang disucikan dan boleh jadi mengklaim mempunyai hubungan khusus dengan dewa, tetapi bukan berate mereka dipuja sebagai ‘dewa’. Jadi, mereka berbeda dengan Raja Jawa Hayam Wuruk yang disebut-sebut ‘Siwa-Buddha’ dan ‘dewa-para dewa’. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:59-60)
Angkor di Kamboja terbilang berumur panjang. Namun, kerajaan ini tidak selalu stabil. Epigrafi melimpah yang ditinggalkan para penguasanya selama berabad-abad mengandung gambaran yang jelas tentang perebutan kekuasaan yang sering terjadi. Diperkirakan, salah satu penyebabnya adalah prinsip hubungan keluarga bilateral: seorang penguasa menyetir para leluhurnya dari garis ayah dan ibu dari keluarganya untuk memperkuat legitimasinya. Resikonya, system ini melipat gandakan jumlah pengeklaim takhta dibandingkan dengan pola suksesi yang langsung dari ayah keputranya. Sulit memetakan sejarah Angkor dalam konteks dinasti, tidak seperti Vietnam dan suksesi kerajaan seperti telah bergerak dengan berbagai tujuan pada waktu yang berbeda-beda. Kadang pengklaim takhta bahkan berasal dari luar keluarga yang berkuasa. Beberapa silsilah kerajaan yang ditemukan pada prasasti tampak dibuat-buat, setidaknya pada bagian tertentu. Penguasa yang legistimasinya tidak jelas akan mencoba memperkuatnya melalui klaim memiliki hubungan darah dengan raja sebelumnya. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:60)
Ketidak puasan internal juga dapat dijelaskan menggunakan model mandala. Bukti sejarah mengungkapkan bahwa, seperti semua kerajaan Asia Tenggara lainnya, Angkor dipimpin penguasa kuat dan lemah secara bergantian. Beberapa raja yang kuat adalah Jayawarman II, Yasowarman, Suryawarman I (bertakhta 1002-1049), Suryawarman II (diperkirakan memerintah antara 1113 atau 1145 - ± 1150) dan Jayawarman VII (bartakhta 1181-± 1220). Dalam beberapa kasus, penguasa baru muncul dari masa kegelapan untuk mengembalikan stabilitas, menyatukan kembali wilayah yang terpecah belah, termasuk memperluas kerajaan. Setidaknya pada abad ke-11, bahkan mungkin sebelumnya, sudah ada keluarga-keluarga kuat yang memerintah berbagai daerah yang jauh dari ibukota. Kepentingan mereka harus diakomodasi atau mereka tidak akan lagi mau mengakui kewenangan penguasa, bahkan berupaya mendudukan seorang raja baru di takhta. Dominasi jangka panjang pusat politik (Angkor) tidak menjamin bahwa setiap penguasa yang memerintah disana mendapat dukungan dari semua bagian wilayahnya. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:60-61)
Walaupun kekuasaan sebagian didasarkan pada garis keturunan langsung (hubungan darah dan hubungan lainnya) dan sebagian besar berdasarkan garis spiritual (hubungan dengan kekuatan dewa), seiring berjalannya waktu Angkor berhasil mengembangkan birokrasi yang cukup besar. Tidak mudah mengurai fungsi-fungsi yang disangkutpautkan dengan berbagai gelar yang muncul dalam epigrafi karena seringkali memiliki konotasi religious. Meskipun demikian, jelas sudah ada posisi seperti menteri kerajaan. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:61)
Prasasti juga menjadi saksi adanya berbagai kategori pejabat herarki tingkat rendah. Para pejabat ini seringkali disebutkan dalam kaitannya dengan transaksi tanah, salah satu subyek prasasti yang paling penting. Sejarawan Michael Vickery mengamati bahwa selama dua abad pertama sejarah Angkor prasasti semacam itu biasanyya meminta kewenangan khusus raja. Namun, sejak pemerintahan Suryawarman I dan seterusnya pengesahan transaksi kerap dilakukan para pejabat, bukan penguasa. Ini menjadi bukti semakin pentingnya birokrasi selain dihubungkan dengan munculnya keluarga-keluarga kuat asal-muasal para pejabat ini. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:61-62).
Kamboja masa Angkor mencapai puncak kejayaannya pada pemerintahan Jayawarman VII yang secara umum dianggap sebagai raja terhebat dalam sejarah Negara ini. Prasasti-prasastinya dapat ditemukan di tempat-tempat yang jauh hingga mencapai ibukota Lao, Vientiane. Namun kewenangannya masi menjadi perdebatan. Tentu saja, mandala Angkor pada waktu itu mencangkup sebagian besar wilayah Thailand modern serta delta Mekong. Jayawarman VII adalah pembangun candi yang produktif, ia merupakan penganut Buddha Mahayana yang ta’at, dan bidang pekerjaan umum seperti jalan, stasiun peristirahatan dan rumah skit. Ironisnya, ia merupakan penguasa Angkor terakhir dengan informasi melimpah seputar pemerintahannya. Setelah kematiannya, catatan sejarah sangat berkurang. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:62-63)
Mungkin berlebihan bila beranggapan kemunduran kerajaan Angkor dimulai sejak Jayawarman VII mangkat. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa luas wilayah kerajaan ini mulai berkurang setelah itu. Pada awal abad ke-13 para penutur Tai telah menetap di Thailand uatara dan memperluas wilayahnya ke selatan. Tidak jelas apakah ekspansi mereka secara langsung menjadi penyebab menyempitnya perbatasan Kamboja selama 1200-an atau sebaliknya, apakah melemahnya Angkor pada dasarnya disebabkan alasan internal dan akhirnya membuat wilayah perbatasannya mudah ditaklukkan para penutur Tai yang semakin kuat. Apa pun kejadian sebenarnya, abad ke-13 menjadi saksi pendirian muang Tai dengan luas wilayah beragam, mula-mula di luar batas mandala Angkor kemudian di dalam wilayah perbatasannya, kerajaan baru Sukhothai. Kemunculan dan ekspansi Ayutthaya di lembah Chao Phraya pada pertengahan abad ke-14 secara efektif menjadi sinyal berakhirnya Angkor sebagai kekuatan besar di daerah ini. (Ricklefs, Bruce, Albert, Maitrii, Thwin, 2013:63)
Sepeninggal Maharaja Jayavarman VII, Cambodia memasuki masa suram Angkor. Pada abad ke-14, beberapa kerajaan penganut Buddha yang berada dibawah kekuasaan Khmer memisahkan diri, salah satunya adalah kerajaan Champa. Di bagian Barat kerajaan Sukhothai kian sering melakukan pembrontakan dan berhasil menekan Khmer.
Di sisi lain, Raja penerus Jayavarman VIII merupakan pengikut Hindu, berhasil menggoyahkan kekuatan kerajaan dengan menghancurkan semua patung-patung Buddha dan mengembalikan semua Candi Buddha menjadi Candi Hindu kembali. Ancaman dari luar juga terjadi dari bangsa Mongol di bawah kendali Jenderal Kublai Khan yang terkenal tidak kenal ampun dalam memperluas daerah kekuasaan. Kehidupan rakyat di dalam kerajaan juga memburuk dengan semakin tidak terkontrolnya pengaturan pembagian air irigasi yang menyebabkan kegagalan panen, banjir yang kian sering terjadi.
Puncaknya terjadi ketika tentara Ayutthaya, dekat Bangkok sekarang, yang berhasil mengalahkan Sukhothai (Thailand tengah), kemudian menyerang ibukota Yasodharapura hingga ditinggalkan oleh sebagian besar penduduknya; dan Raja akhirnya harus memindahkan ibukota ke arah selatan, ke Oudong, dekat Phnom Penh sekarang. Sejak itu kisah Angkor menghilang dari pembicaraan sejarah dunia.
B. Masuknya Perancis ke Kamboja
Kamboja, di abad ke-18 tidak hanya mendapat penjajahan dari Barat seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lain, namun juga negara-negara terdekatnya, yaitu Thailand dan Vietnam (Sternstein, t. t.). Hal ini dikarenakan, posisi Kamboja terjepit di antara dua negara tersebut sehingga invasi terus datang bergantian dari Thailand maupun Vietnam. Invasi Thailand dan Vietnam atas Kamboja yang berujung pada kemenangan Vietnam ini membuat Vietnam memperkuat kontrolnya dengan mencoba untuk membuat masyarakat Kamboja menjadi lebih beradab. Akan tetapi, usaha ini justru berakhir menjadi sebuah pemberontakan pada 1840-1841 sehingga hal ini menjadi celah bagi Thailand untuk kembali menginvasi Kamboja mengambil alih kekuasaan Vietnam.
Invasi Thailand dan Vietnam atas Kamboja ini mulai berakhir pada abad ke-19 ketika Prancis datang dan menawarkan bantuan perlindungan. Tawaran ini disambut baik oleh Raja Kamboja, yaitu Raja Norodom Prohmbarirak sehingga Kamboja resmi menjadi negara protektorat Prancis pada 11 Agustus 1862. Awalnya Prancis tidak hanya melindungi Kamboja namun juga berusaha untuk melakukan pembangunan ekonomi, transportasi, dan industri karet pada 1920-an. Namun rakyat Kamboja juga diharuskan untuk membayar pajak yang memberatkan sehingga karena kondisi yang tertekan ini nasionalisme di Kamboja mulai muncul. Pada 1941, Jepang turut hadir di Kamboja namun masih memperbolehkan kehadiran Prancis di Kamboja. Jepang juga menjanjikan kemerdekaan kepada Kamboja, sehingga melihat hal ini, Prancis pun berinisiati untuk memberi kebebasan bagi Kamboja untuk membuat partai politik dan konstitusi dan pada 1949, Kamboja berhasil menjadi negara semi-independen (Lambert, t.t.). Lambert, Tim. t.t. “A Short History of Cambodia” [Online], dalam http://www.localhistories.org/cambodia.html, diakses pada 27 Maret 2016.
Disaat Kamboja mendapatkan tekanan-tekanan dari kerajaan Siam sebelah barat dan kerajaan Annam di timur, maka Raja Kamboja Norodom minta bantuan pada Prancis. Akibatnya dengan kemenangan Kamboja dibantu oleh Prancis menjadikan Kamboja sebagai daerah Protektorat Prancis tahun 1863. Tahun 1884 Norondom dipaksa menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan kepada Prancis dan pemerintahan dalam negeri seluruhya berada di tangan Prancis dan Kamboja pun menjadi daerah koloni Prancis dan Kamboja ditelantarkan oleh Prancis karena ada Daerah lain yang subur dan kaya yakni Viaetnam. Tidak ada pembangunan industri dan pertanian dibiarkan seperti semula.
Namun sebuah angin perubahan pun mulai terbawa ketika di tahun 1863 seorang Raja Kamboja yakni Raja Norodom. Raja Norodom ialah raja nan dilantik oleh Raja Thai. Dia memiliki sebuah siasat jitu dengan mencari konservasi ke negara Perancis.
Di tahun 1867, Raja Norodom menandatangi sebuah perjanjian dengan pemerintah Perancis nan isinya memberikan hak kontrol terhadap dua wilayah nan waktu itu dikuasai oleh Thai yakni Battambang dan Siem Reap. Namun pada akhirnya kedua wilayah ini diberikan kepada Kamboja oleh Perancis di tahun 1906 pada sebuah perjanjian perbatasan antara Perancis dan Thai. Kondisi tersebut tentunya menguntungkan bagi pihak Kamboja sebab selama 1863 hingga pada tahun 1953, Kamboja dijadikan sebagai wilayah protectorat nan dilindungi oleh Perancis nan dianggap sebagai daerah koloni Indonchina.
Kamboja diperintah dari Hanoi sebagai bagian dari Perancis Indo-China dari 1864 sampai tahun 1953 ketika Raja Norodom Sihanouk, yang telah ditempatkan pada takhta oleh Perancis pada tahun 1941, kemerdekaan penuh dicapai. Ia memerintah Kamboja sampai tahun 1970, ketika Marsekal Lon Nol digulingkan dia dalam kudeta.
Perancis yang menjadikan negara Kamboja sebagai wilayah protektoratnya sejak 1863, mengangkat Sihanouk sebagai Raja pada tahun 1951 dan memberikan kemerdekaan kepada Kamboja pada 9 November 1953. Sihanouk kemudian memproklamirkan Kamboja sebagai negara yang netral dan berusaha tidak terlibat dalam Perang Vietnam. Periode 1970 – 1993, Kamboja memasuki masa perang saudara yang menghancurkan infrastruktur fisik dan kapasitas sumber daya manusia. Masa ini juga ditandai dengan berkuasanya rezim Khmer Merah serta menjadikan Kamboja sebagai perebutan pengaruh kekuatan negara asing sebagai akibat dari perang dingin.
Raja Norodom dari Kamboja yang naik tahta tahun 1860, pada tahun 1861 mangalami kesulitan karena saudaranya yang bernama Si Votha memberontak dan memaksanya mengungsi ke Battambang. Selama beberapa tahun Kamboja bertahan dari Muangthai dan Vietnam. Raja mencoba mempertahankan kemerdekaan dengan cara membayar upeti pada kedua belah pihak.
Raja yang mengungsi mencoba pergi ke Bangkok untuk mencari bantuan senjata dan mendapatkan kembali mahkotanya. Permintaan tersebut didukung oleh Mgr.Miche, Vicar Apostolik Kamboja, yang kemudian menulis pada konsul Perancis di Bangkok untuk mendekati Muangthai. Bulan Maret 1862 pemerintah mengirim kembali Norodom ke Kampot dengan sebuah kapal api uap untuk memasuki ibu kota. Bagi perancis tujuan mereka adalah meneruskan peran sebagai "Protektor" Kamboja. Sebuah kapal bersenjata perancis yang dikirim oleh Admiral Charner ke Phnom Penh untuk melindungi misionnaris Perancis membuat kebingunan para pemberontak.
Charner tertarik pada keadaan Kamboja sejak awal bulan Maret 1861, saat Charner mengutus perwiranya untuk memberitahukan pada Norodom bahwa Perancis akan membantu mempertahankan kemerdekaan Kamboja. Namun Raja mengatakan pada utuan itu akan menyerahkan semua kelanjutan kerajaan pada Muangthai yang telah menyelamatkan dari penguasaan Vietnam.
Bulan September 1862 Bonard mengunjungi Norodom dan menganjurkan untuk menakhukkan Cochin China, Perancis beranggapan bahwa Negara itu sekarang mempunyai hak atas upeti yang sebelumnya dibayar pada Hue. Bulan April 1863 Bonard mengambil keputusan untuk penegakan pengaruh perancis dengan mengirimkan seorang letnan angkatan laut, Doudart de Lagree sebagai seorang Residen. Bonard menyuruh melakukan survey geografis negri itu dan menjalin hubungan dengan Raja. Saat kembali Residen melaporkan bahwa raja Muangthai lebih berkuasa di Oudong daripada raja Kamboja.Berita ini membuat Lagrandiere memberi waktu pada
Muangthai untuk memperkuat kekuasaanya di Kamboja. Pada bulan Juli 1863 Lagrandiere melakukan kunjungan pribadi ke Oudong dan menawarkan bantuan dalam menjaga kemerdekaan dari Muangthai. Awalnya Raja ragu, namun karena kaeadaan masih berbahaya Raja menerima tawaran tersebut. Raja juga takut kalau-kalau agitator po Kombo, yang telah menyulitkan Perancis diperbatasan akan merebut tahtanya. Babak Kedua Expansi Perancis di Indochina, 1870-1900.
Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari perlindungan kepada Perancis. Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani perjanjian dengan pihak Perancis yang isinya memberikan hak kontrol provinsi Battambang dan Siem Reap yang menjadi bagian Thai. Akhirnya, kedua daerah ini diberikan pada Kamboja pada tahun 1906 pada perjanjian perbatasan oleh Perancis dan Thai.
Kamboja dijadikan daerah Protektorat oleh Perancis dari tahun 1863 sampai dengan 1953, sebagai daerah dari Koloni Indochina. Setelah penjajahan Jepang pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih kemerdekaannya dari Perancis pada 9 November 1995. Kamboja menjadi sebuah kerajaan konstitusional di bawah kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk.
Kamboja pernah menjadi Daerah Perlindungan Perancis (jajahan Perancis) sejak tahun 1863 sampai negeri ini memperoleh kemerdekaan pada tahun 1953.
Kamboja pernah menjadi negara boneka. Dibentuk sebagai Free State tanggal 7 Januari 1946 dibawah Raja Norodom Sihanouk, dengan paksaan tentara Perancis yang menyeburnya dan memaksakan perjanjian Koamboja-Perancis yang menetapkan Kamboja menjadi negara dibawah naungan Perancis. Dibawah kemajuan tentara Ho Chi Minh (1953) kerajaan Kamboja menuntut kemerdekaan penuh dari Perancis, hingga merupakan ancaman bagi Perancis.
1. Partai Komunis Kamboja menuju Democratic
Antara abad ke 9 hingga 14, orang Khmer di Kamboja pernah memiliki Kerajaan besar Angkor yang wilayahnya mencakup Vietnam, Laos, Thailand hingga Myanmar sekarang ini. Ibukota kerajaan itu, Angkor, berpopulasi 1 juta jiwa (pada saat yang sama, Paris yang merupakan salah satu kota terbesar di Eropa hanya dihuni sekitar 30 ribu jiwa). Di dalam Angkor, kerajaan Hindu itu membangun kompleks peribadatan seluas 75 km2 (terbesar di dunia hingga saat ini). Lebih dari 1000 candi Hindu dibangun, yang satu sama lain terhubung dalam jaringan dam dan kanal yang airnya ditampung dari perbukitan sekitarnya. Abad-abad kemudian, pengaruh mereka menyusut dan perlahan mengadopsi Buddhisme. Mereka jatuh dalam pengaruh Buddhisme Siam (Thailand) dan kemudian di bawah Konfusionisme Dai Nam (Vietnam). Pada suatu masa, Kerajaan Khmer (pewaris kerajaan Angkor) pernah hampir dikuasai seluruhnya oleh Vietnam sehingga menimbulkan rivalitas mendalam antara Kamboja dan Vietnam hingga abad ke 21. Pada pertengahan abad ke 19, kerajaan Khmer menerima perlindungan dari Prancis untuk menghadapi Siam dan Dai Nam. Sejak saat itu (1863), Kamboja menjadi wilayah Protektorat atau negara bawahan Prancis. Kemudian, menyusul Laos dan Vietnam dikuasai Prancis dan dijadikan wilayah Indocina Prancis.
Pada perkembangannya, Prancis fokus pada Vietnam dan meninggalkan Kamboja tanpa banyak perubahan. Prancis memajukan pertanian di Vietnam hingga terbentuk petani-petani kaya, mengenalkan industri, memajukan dunia pendidikan serta menciptakan banyak kaum profesional dan intelektual. Hal yang sama tidak terjadi di Kamboja yang tetap tertinggal. Untuk membantu jalannya administrasi pemerintahan di Kamboja, Prancis lantas memasukkan banyak sekali orang Vietnam terdidik dan juga memasukkan pekerja Vietnam untuk menangani pertanian dan perkebunan. Padahal, Orang Vietnam merupakan rival tradisional orang Khmer. Prancis juga memasukkan banyak Orang Cina untuk mengurus perdagangan, yang dengan cepat menjadi etnik minoritas terbesar di Kamboja .
Orang-orang Khmer (orang Kamboja asli) terbelah dalam dua pandangan berbeda. Sebagian kalangan melihat bahwa bantuan Prancis akan memulihkan lagi kejayaan mereka di masa lalu, sedangkan sebagian lagi beranggapan kalau mereka berada di era kepunahan di tangan orang-orang Vietnam, yang telah menjadi rival mereka sejak lama. Mereka cemas dengan keberadaan orang-orang Vietnam di Kamboja terus menerus membesar dan mengisi jabatan-jabatan penting dalam birokrasi di Kamboja. Mereka melihat bahwa Kamboja mulai dikuasai orang Vietnam. Pada saat yang sama, etnik Cina juga terus membesar dan menguasai perdagangan. Mayoritas penghuni ibukota Pnom Penh pada tahun 1940-an adalah orang Cina dan Vietnam.
Antara tahun 1941 sampai 1945, dalam konteks Perang Dunia II, Kamboja dikuasai Jepang. Setelah kalah perang, ¬Jepang mengembalikannya lagi ke tangan Perancis. Tapi kondisi sudah tidak sama lagi seperti sebelumnya. Perang Dunia II memicu kebangkitan nasionalisme di Negara-negara dunia ketiga, termasuk di Kamboja. Kaum Nasionalis Kamboja tidak menerima kembalinya Prancis dengan lapang. Mereka menuntut kemerdekaan. Sebelumnya, kaum nasionalis Vietnam telah berhasil memaksa Prancis keluar dari Vietnam, dan mengubah Vietnam menjadi Negara komunis. Berbeda dengan di Vietnam, tuntutan kemerdekaan di Kamboja berlangsung damai. Pihak kerajaan dan para birokrat Kamboja meminta penyerahan kekuasaan dari Prancis ke tangan mereka tanpa melalui jalur kekerasan. Akan tetapi di sisi lain, kaum muda Kamboja yang dipengaruhi komunis menginginkan revolusi total, bukan jalur damai. Mereka, kaum muda itu, diorganisir oleh kelompok intelektual muda didikan Prancis, yang saat di Prancis bergabung ke dalam Partai Komunis Prancis. Ketika kembali ke tanah air, mereka mendirikan Partai Komunis Kamboja. Tujuannya untuk mengusir Prancis sekaligus menurunkan tahta Raja Norodom Sihanouk.
Pada tahun 1953, Prancis keluar sepenuhnya dari Kamboja dengan menyerahkan kekuasaan pada Kerajaan Kamboja merdeka di bawah raja Pangeran Norodom Sihanouk. Sang Rajapun menjadi penguasa negara sepenuhnya. Dengan demikian, Kamboja kembali ke era sebelum kedatangan Prancis, yakni Kamboja berbentuk kerajaan yang merdeka. Kaum muda Kamboja yang dipengaruhi komunis tidak puas dengan keadaan tersebut. Mereka ingin melenyapkan bentuk pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu aksi-aksi revolusioner dijalankan. Respons Pangeran Norodom Sihanouk terhadap aksi-aksi itu sangat keras. Partai Komunis Kamboja yang berhasil meraih suara cukup besar dalam Pemilu, sehingga merupakan salah satu partai mayoritas di parlemen, dibekukan. Seluruh aktivitas partai itu dilarang. Parlemen pun dibubarkan. Kaum komunis lantas mundur ke hutan-hutan dan sebagian bergabung dengan Komunis Vietnam. Rejim Sihanouk bertahan sampai tahun 1970. Sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Lon Nol mengakhiri kekuasaannya. Lon Nol kemudian mendirikan Republik Khmer.
Perlahan namun pasti, Partai Komunis Kamboja yang dipimpin oleh Saloth Sar atau lebih dikenal sebagai Pol Pot (Saudara Nomor Satu) dan Nuon Chea mendapatkan pengikut kembali. Salah satu lumbung utama pengikut mereka adalah wilayah perbatasan Kamboja-Vietnam, yang sejak tahun 1965 menjadi medan tempur antara Amerika Serikat dan Vietnam. Pertempuran di wilayah Kamboja terjadi karena banyak tentara Vietnam yang masuk ke wilayah Kamboja. Pengeboman besar-besaranpun berlangsung di wilayah perbatasan. Akibatnya katastropik: kehancuran terjadi di mana-mana di wilayah perbatasan. Dicekam takut dan kekuatiran, banyak orang tua yang kemudian menyerahkan anak-anak muda mereka ke kelompok komunis.
Rejim Lon Nol yang dipenuhi korupsi dan kondisi ekonomi yang memburuk membuat banyak rakyat Kamboja mulai berpaling pada Partai Komunis. Popularitas Partai Komunis pun meluas. Kekuatannya bertambah pesat. Sebagai rejim anti komunis, Republik Khmer berusaha menghancurkan mereka. Dengan bantuan pihak Amerika Serikat, Republik Khmer berhasil memaksa pihak komunis hanya mencapai perkembangan lambat dan cenderung stagnan. Akan tetapi ketika pihak Kongres Amerika menemukan fakta adanya pengeboman di wilayah Kamboja, merekam bentuk bantuan ke Republik Khmer. Akibatnya Republik Khmer sendirian menghadapi komunis. Saat pihak komunis yang menyebut diri mereka Khmer Merah (Khmer Rogue) menyerang Pnom Penh dengan kekuatan penuh, Republik Khmer pun tak berdaya. Akhirnya, pada tanggal 17 April 1975, Khmer Merah berhasil sepenuhnya menduduki ibu kota Pnom Penh dan menguasai Kamboja. Mereka memaklumkan Negara baru yang bernama Democratic Kampuchea.
2. Muslim Kamboja Pada Masa Jajahan Perancis
Awal abad 19 atau sekitar tahun 1864 sebelum Kamboja dikuasai oleh Khemr Merah terlebih dahulu Perancis telah bercokol Kamboja. Munculnya Perancis di Kamboja membawa kestabilan politik di negeri ini. Perancis menjadikan Kamboja sebagai negara Protektorat hingga tahun 1970.
Namun dalam beberapa sumber tidak banyak dijelaskan bagaimana hubungan umat muslim Kamboja dengan Perancis. Namun artikel yang ditulis oleh Muhamad Zain Musa memuat sedikit mengenai hubungan Perancis dengan umat Islam di Kamboja. Dijelaskan bahwa Perancis bersikap toleran, terhadap kedua agama yang berkembang di Kamboja, yakni Buddha dan Islam.
Bahwa dikatakan umat Islam, Buddha dan Perancis hubungan baik bagai simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Keberadaan agama di Kamboja tidak di usik oleh Perancis, bahkan Perancis merangkul dan mempersatukan agama-agama yang sebelumnya telah berkembang di Kamboja.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang mempunyai banyak keragaman Dari mulai bahasa, adat istiadat, kebudayaan, ras, dan suku bangsa dan yang lainnya yang mencirikan keheterogenitasan asia tenggara. Hal inilah yang merupakan sumber perbedaan yang mencolok dalam wilayah-wilayah bagian asia tenggara. Berbedanya latar belakang, sejarah, dan keadaan fisik dari suatu daerah menyebabkan berbeda pula perkembangan yang di alami oleh suatu negara.
Kerajaan-kerajaan di Kamboja
1. Kerajaan Funan
2. Kerajaan Chenla
3. Kerajaan Khmer di Kamboja sampai tahun 1001
4. Kerajaan Angkor
Masuknya Perancis ke Kamboja
Kamboja, di abad ke-18 tidak hanya mendapat penjajahan dari Barat seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lain, namun juga negara-negara terdekatnya, yaitu Thailand dan Vietnam (Sternstein, t. t.). Hal ini dikarenakan, posisi Kamboja terjepit di antara dua negara tersebut sehingga invasi terus datang bergantian dari Thailand maupun Vietnam. Invasi Thailand dan Vietnam atas Kamboja yang berujung pada kemenangan Vietnam ini membuat Vietnam memperkuat kontrolnya dengan mencoba untuk membuat masyarakat Kamboja menjadi lebih beradab. Akan tetapi, usaha ini justru berakhir menjadi sebuah pemberontakan pada 1840-1841 sehingga hal ini menjadi celah bagi Thailand untuk kembali menginvasi Kamboja mengambil alih kekuasaan Vietnam.
1. Partai Komunis Kamboja menuju Democratic
Rejim Lon Nol yang dipenuhi korupsi dan kondisi ekonomi yang memburuk membuat banyak rakyat Kamboja mulai berpaling pada Partai Komunis. Popularitas Partai Komunis pun meluas. Kekuatannya bertambah pesat. Sebagai rejim anti komunis, Republik Khmer berusaha menghancurkan mereka. Dengan bantuan pihak Amerika Serikat, Republik Khmer berhasil memaksa pihak komunis hanya mencapai perkembangan lambat dan cenderung stagnan. Akan tetapi ketika pihak Kongres Amerika menemukan fakta adanya pengeboman di wilayah Kamboja, merekam bentuk bantuan ke Republik Khmer. Akibatnya Republik Khmer sendirian menghadapi komunis. Saat pihak komunis yang menyebut diri mereka Khmer Merah (Khmer Rogue) menyerang Pnom Penh dengan kekuatan penuh, Republik Khmer pun tak berdaya. Akhirnya, pada tanggal 17 April 1975, Khmer Merah berhasil sepenuhnya menduduki ibu kota Pnom Penh dan menguasai Kamboja. Mereka memaklumkan Negara baru yang bernama Democratic Kampuchea.
2. Muslim Kamboja Pada Masa Jajahan Perancis
Bahwa dikatakan umat Islam, Buddha dan Perancis hubungan baik bagai simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Keberadaan agama di Kamboja tidak di usik oleh Perancis, bahkan Perancis merangkul dan mempersatukan agama-agama yang sebelumnya telah berkembang di Kamboja.
Daftar Pustaka
http://achmantomendatu.blogspot.co.id/2014/08/genosida-kamboja.html?m=1
http://agoenghistorika.blogspot.co.id/2013/04/indo-china-zaman-kuna-hingga-merdeka.html?m=1
http://arief-history.blogspot.co.id/2011/06/sejarah-asia-tenggara.html?m=1
http://blog-chiex.blogspot.co.id/2011/08/kedatangan-bangsa-barat-ke-asia.html?m=1
https://books.google.co.id/books?id=ABMaDAAAQBAJ&pg=PA83&dq=perancis+di+kamboja&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwixstKCvo_TAhXEOo8KHUSkB_A4FBDoAQg5MAc#v=onepage&q=perancis%20di%20kamboja&f=false
https://books.google.co.id/books?id=tQU3CAAAQBAJ&pg=PA29&dq=masuknya+perancis+ke+kamboja&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwigjeC_tI_TAhXDro8KHR-oB2oQ6AEIGjAA#v=onepage&q=masuknya%20perancis%20ke%20kamboja&f=false
http://lailulyunani.blogspot.co.id/2015/10/sejarah-asia-tenggara-1-kerajaan.html?m=1
http://putralief-cyber.blogspot.co.id/2015/02/sengketa-internasional-thailand-dan.html?m=1
http://tara-wardhani-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-162122-SOH310%20(MBP%20Asia%20Tenggara)-Dinamika%20Negaranegara%20Indochina:%20Vietnam,%20Laos,%20dan%20Kamboja.html
http://www.academia.edu/9487136/Sejarah_dan_Perkembangan_Islam_di_Kamboja
http://www.binasyifa.com/089/43/27/sejarah-kamboja.htm
http://www.guntara.com/2011/02/negara-kamboja.html?m=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kamboja
Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara I, (Terj. I.P. Soewarsha). Surabaya : Usaha Nasional.
Rickles,M.C, dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer. Jakarta : Komunitas Bambu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar